Translate by Big Saber bro
1-3. Memahami Situasi dan Existensi Evolusi
◆◇◆◇◆
Dan begitulah tiba waktunya aku berdiri menghadapi
lawanku dalam gelapnya lorong-lorong di Moon Reflection. Sama sepertiku,
lawanku adalah Skeleton.
Tumpukan tulang-belulang putih, yang disatukan oleh
sedikit energi kehidupan yang dibutuhkan untuk bergerak. Skeleton tidak bisa menggunakan
magic, tidak memiliki sedikitpun kekuatan spirit, tidak dapat menggunakan
divinity dan semacamnya. Itu adalah, semua kalimat yang masuk akal bagi,
Skeleton biasa.
Ketika aku menyiapkan pedangku, Skeleton lawan itu
menatap ke arahku, seperti mengkonfirmasi keberadaanku.
Klak klak klak!
Tulangnya saling berbenturan, mengeluarkan suara
yang mengerikan. Jika aku tidak memahaminya lebih baik, aku akan berpikir
skeleton itu sedang menertawaiku.
Skeleton—
Aku telah melawan mereka berkali-kali, setiap kali
dalam pekerjaanku sebagai seorang petualang. Namun saat ini, mungkin berkat
pandangan baruku ini, aku baru saja menyadarinya ternyata diriku adalah
existensi yang berlawanan dengan mereka.
Ketika makhluk hidup telah menjadi tumpukan
tulang-belulang, pasti tidak akan pernah bangkit lagi. Namun, Skeleton
dihadapanku dapat bergerak dalam kondisi tersebut, selagi terus menentang
kodrat ilahi mengenai hidup dan mati. Semakin aku melihatnya, semakin aku
merasa bahwa existensinya adalah penghinaan terhadap alam.
Hal yang terjadi padaku saat ini mungkin membuat
manusia lain memandangku dengan cara yang sama. Tidak peduli bagaimana aku
melakukannya, sepertinya memang mustahil bagiku untuk kembali ke Maalt dalam
keadaan seperti ini.
Sekali lagi teringat oleh kenyataan tersebut, aku
berakhir menghela nafas lagi. Meskipun, aku tidak memiliki organ untuk
bernafas, apa lagi paru-paru. Tidak memiliki apapun selain tulang, aku pikir
ini sudah jelas.
Aku baru saja merasa terkejut pada kenyataan
ini—kenyataan bahwa saat ini aku adalah sesuatu yang sepenuhnya bukan manusia
terpendam dalam di pikiranku. Mau bagaimana
lagi, juga. Hal inilah yang terjadi pada saat ini.
Meskipun aku merasa telah menerima keadaan baruku
sebagai Skeleton, sepertinya ada banyak hal lain mengenai perkembangan ini yang
masih membuatku ragu.
Sebenarnya, aku lebih merasa bimbang dibanding
sebelumnya.
Terlepas dari itu, aku tidak punya pilihan selain
melangkah maju. Aku harus mengalahkan Skeleton dihadapanku ini dan berevolusi
menjadi Ghoul tak peduli apapun akibatnya! Dengan berpikir seperti itu, aku
berusaha sekuat tenagaku dalam tugas ini, membuat langkah awal menuju Skeleton
lawan—
Setidaknya, itu adalah apa yang ingin aku lakukan.
Kecepatan ketika aku melangkah ke arah Skeleton itu, lebih baik dikatakan,
sangatlah lambat. Aku rasa seseorang dapat mengartikannya seperti semacam;
jogging, mungkin. Namun, kecepatan ketika aku bergerak jauh dari apa yang
kuharapkan—sepertinya ini bukan langkah yang cocok untuk bertarung.
Setidaknya, aku lebih cepat di bandingkan penduduk
biasa di kota Maalt. Namun, aku sudah pasti lebih lambat dari petualang biasa,
bahkan petualang tingkat Iron yang paling rendah.
Tampaknya kemampuan fisikku juga terpengaruhi oleh
kematianku yang terlalu cepat. Mungkin, itu sudah jelas, jika seseorang
memikirkannya:
Skeleton tidak lebih dari tulang berjalan. Karena
semua makhluk hidup memerlukan semacam otot untuk bergerak, maka keajaiban
jadinya jika Skeleton dapat bergerak—dan berdasarkan hal tersebut pergerakan
mereka tidak terlalu baik.
Untuk membuktikan pendapatku, kecepatan Skeleton itu
juga sangat lambat. Dipikir-pikir lagi, semua Skeleton yang telah aku temui
sampai saat ini bergerak dalam gerakan yang sama. Sebenarnya, dapat dikatakan
bahwa kelambatan mereka membuat mereka sempurna menjadi mangsa para petualang
Bronze-class seperti diriku. Mungkin berkat mereka aku bisa terus hidup menjadi
petualang sampai selama ini.
Namun meskipun Skeleton adalah mangsa yang mudah
bagi petualang Bronze-class, diriku saat ini adalah Skeleton, juga.
Pertarungan ini pasti tidak akan mudah; seperti ini
aku sadar ketika aku mengangkat pedangku.
Meskipun jelas bahwa teknik berpedangku menjadi
lebih lambat dibandingkan ketika hidup, bukan berarti aku tiba-tiba lupa
bagaimana cara mengayunkan pedang. Setidaknya, Aku sangat mengingat
dasar-dasarnya.
Dengan pengetahuan itu aku dapat menyimpulkan dengan
sederhana: satu-satunya serangan cepat yang aku miliki pada titik ini adalah
ayunan sederhana dari atas ke bawah. Untuk memastikannya, aku memutuskan untuk
mencoba teoriku. Namun, hasilnya, benar-benar mengecewakan.
Untuk satu hal, sulit mengangkat pedangku. Ini
mungkin karena perubahan dalam otot-otoku, atau kurang dari biasanya. Meski
begitu, aku tidak bisa mengangkat pedangku lagi meski sudah berusaha keras.
Berat yang tergabung dalam pedang tersebut, bermasaan dengan tenaga yang
dibutuhkan untuk membalikkan ke arah yang dituju, benar-benar menyusahkan.
Jika pengamatanku benar, ini semua disebabkan oleh
kurangnya otot pada tubuhku. Dengan kata lain, segala teknik dan gerakan yang
telah aku pelajari sampai sekarang tidak dapat diterapkan pada situasi ini
Sekali lagi, yang terjadi padaku saat ini adalah
fakta yang sudah jelas. Lagi pula, teknik yang aku gunakan dan diajarkan oleh
seorang manusia. Tidak akan ada satupun teknik atau serangan yang dibuat untuk
fisik Skeleton.
Meski begitu, aku berusaha mencari solusinya. Jika
aku berhenti begitu saja saat ini dan disini, aku pasti akan dikalahkan oleh
Skeleton itu dan mati, lagi. Kalau begitu, mungkin, ini mungkin sedikit
keberutungan karena lawan pertamaku adalah Skeleton lambat dan biasa.
Ketika aku sedang sibuk mencari tahu potensi
serangan pedangku, lawan ini mempercepat gerakannya, dan berlari ke
arahku—sehingga seketika terjatuh. Karena kejatuhan yang tidak menguntungkan,
tulang kaki lawanku tampak lepas dengan sendirinya. Skeleton tersebut saat ini
sedang duduk di atas tanah dalam posisi canggung, berusaha keras untuk
menggapai dan menempelkan kembali kakinya.
Mau bagaimana lagi aku tertawa pada skenario dark
komedi ini. Setidaknya, aku ingin tertawa, namun Skeleton pada umumnya tidak
bisa memproduksi suara seperti itu. Satu-satunya suara yang Skeleton dapat buat
adalah suara gemerutuk tulang, dan hanya seperti itu. Tanpa lama lagi, aku
memutuskan untuk meniru suara yang Skeleton itu buat ketika terjadi
dihadapanku. Rangkaian suara berkeletak yang menyedihkan adalah hasil dari
usahaku ketika tertawa.
Seperti marah terhadap gelak tawa tulangku, Skeleton
itu menyeret tulangnya kembali ke bagian yang lepas, kemudian berdiri dan
berlari sekali lagi ke arahku. Sepertinya Skeleton itu serius ingin menyerangku
kali ini.
Aku tidak bisa melihat ini sebagai hal baik—ini
pasti bukan hal baik. Meskipun Skeleton adalah monster lemah, skeleton memiliki
kekuatan dan kecepatan yang cukup untuk membunuh seorang pria dewasa—termasuk
petualang biasa, tentu saja. Dengan begitu, bahkan petualang Iron-class
terlemah akan mendapat luka akibat pukulan semacam itu.
Selagi aku bingung berpikir, Skeleton yang dimaksud
itu langsung menyerangku, dan kita berdua terjatuh ke atas tanah saat ini. Aku
dengan gugup mencari cara untuk melakukan serangan balasan, aku yakin jika
hanya duduk dan tidak melakukan apapun, Skeleton itu pasti akan membunuhku.
Namun sepertinya, itu tidak diperlukan lagi.
Alasannya sederhana: Skeleton itu tidak mencoba
menyerang lagi. Ini mungkin disebabkan oleh kombinasi suatu faktor, termasuk
fakta ketika skeleton itu bergerak, dan sudut tertentu aku memegang pedangku,
telah menyebaban senjataku tertusuk ke dalam tulangnya. Kejadian yang
benar-benar kebetulan.
Namun, itu tidak cukup—lagi pula, lawanku adalah
undead monster. Yang ada, Skeleton itu tampaknya lebih marah pada kenyataan
bahwa pandangannya terhalang oleh pedang yang keluar dari salah satu bagian
matanya. Kenyataan ini, berlawanan dengan fakta bahwa pedang yang dipertanyakan
ini adalah logam tajam yang tertanam di tengkoraknya. Skeleton itu juga tidak
mati.
Berdasarkan dari segala macam hal yang telah aku
lihat selama ini, dapat diasumsikan bahwa Skeleton tidak memiliki banyak cara
dalam intelek dan logika, meskipun mereka entah kenapa memiliki bentuk
humanoid. Skeleton yang menyerangku adalah contoh yang baik, karena skeleton
itu sedang bingung pada kejadian saat ini, dan tampaknya tidak dapat memutuskan
harus melakukan apa.
Memanfaatkan peluang ini, aku segera menggenggam
pedangku, menaruh seluruh kekuatanku pada senjata ini. Aku berpikir akan
mendorong pedang ini menembusnya, mengingat pedang ini dengan mudah tertusuk
pada tengkorak lawan.
Namun, aku, teringat oleh fakta tidak menguntungkan
bahwa aku adalah Skeleton yang tidak memiliki kekuatan. Lagi pula, tulang
adalah bahan digunakan untuk membuat armor, dan itu sangat keras.
Tulangnya mungkin tidak akan bergetar hanya dengan
kekuatan kecil yang aku miliki ini. Meskipun aku mencoba menaruh berat tubuhku
kedalam serangan, itu tidak berhasil, karena aku tidak memiliki banyak berat
pada awalnya.
Aku benar-benar bingung.
Aku harus entah bagaimana menghubungkan lebih banyak
kekuatan ke dalam gagang pedang ini, tidak peduli bagaimanapun caranya. Jika
ini terus berlanjut, aku mungkin akan terjebak dalam pertarungan ini
selamannya. Aku benar-benar tidak ingin pertarungan pertamaku terjadi selama
ratusan tahun.
Menarik kembali pikiranku dari ide tanpa harapan,
aku sadar bahwa sepertinya aku harus mencoba salah satu kemampuan yang aku
miliki ketika hidup. Maksudku , aku bukanlah Skeleton biasa, dan aku harus memanfaatkan
fakta itu sepenuhnya.
Aku sudah terlalu terperangkap dalam masalah ini
karena aku saat ini adalah Skeleton, dan lupa jika aku telah mengalahkan banyak
Skeleton dalam kehidupanku sebelumnya. Nyatanya, aku terbiasa mengalahkan
Skeleton tidak dengan apapun melainkan kekuatan fisik. Aku bahkan memiliki
mana, spirit, dan divinity untuk menyelesaikannya.
Meskipun Skeleton biasa tidak menyadarinya,
pergerakan mereka ditenagai oleh magic, juga. Sebagai hasilnya, Skeleton
memiliki tingkat kecepatan dan kekuatan lebih besar dibandingkan manusia biasa,
oleh karena itu klasifikasinya adalah monster. Karena aku bukan lagi manusia,
aku sadar sebaiknya aku menggunakan kemampuan baruku sebagai monster sebanyak
yang aku bisa.
Diantara tiga kemampuan yang tersedia untukku,
spirit adalah satu-satunya yang paling cocok untuk menerapkan kekuatan
fisik—dan semacamnya, paling cocok untuk situasi saat ini.
Akhirnya telah menetapkan pikiranku, aku mulai
berkonsentrasi, menyelimuti tubuhku dengan energi spirit. Di tengah
pertimbangan tersebut aku baru menggunakan kemampuan ini ketika tubuhku tidak
lebih dari sekadar tumpukan tulang, aku tidak tahu bagaimana sebenarnya ini
terjadi. Namun aku harus mencobanya. Jika tidak berhasil, maka aku harus
bergantung pada kekuatan fisik biasa. Jika berhasil, sebaliknya…
Aku dikenal ketika hidup terus melangkah ke depan
meskipun hal itu terlihat suram. Tidak masuk akal jika menyerah begitu saja.
Ketika aku terus berkonsentrasi, sepertinya
taruhanku terbayarkan—dengan seluruh kemampuanku, aku mendorong gagang pedang
tersebut, perlahan mendorong senjata ini melalui mata milik Skeleton tersebut
dan berakhir menghancurkan tengkoraknya. Namun kekuatan serangannya tidak
tampak berhenti disini—suara retakan yang tidak mengenakan berkelanjutan tersebar
melalui tubuh Skeleton tersebut, dan sekaligus, seluruh tulang dalam tubuhnya
hancur menjadi ribuan kepingan kecil.
Seperti boneka yang talinya dipotong, Skeleton itu
terjatuh menjadi taburan pecahan tulang, bertebaran di atas tanah di dalam labirin.
Sampai beberapa saat yang lalu, tulang-tulang itu saling terhubung, dan
membentuk sebuah Skeleton. Namun dengan kepalanya hancur, Skeleton itu tampak
kehilangan sifat undeadnya, sekali lagi kembali menjadi tumpukan tulang mati.
Tidak tahu bagaimana. Aku menang.
Meskipun canggung dan melalui pertempuran pertama
yang memalukan, yang terpenting adalah kemenanganku.
Selagi aku tidak lincah dan kuat seperti ketika aku
hidup, aku telah berhasil menggunakan kemampuan yang aku miliki untuk
mendapatkan kemenangan. Mungkin aku melakukannya tidak terlalu buruk juga.
Dengan berpikir seperti itu, aku menyandarkan diri,
pikiranku entah bagaimana dipenuhi rasa lega yang mengkhawatirkan.