Wednesday 6 June 2018

Nozomanu Fushi no Boukensha Vol.1 Ch.1 Bag.3



Translate by Big Saber bro



1-3. Memahami Situasi dan Existensi Evolusi

◆◇◆◇◆



Dan begitulah tiba waktunya aku berdiri menghadapi lawanku dalam gelapnya lorong-lorong di Moon Reflection. Sama sepertiku, lawanku adalah Skeleton.

Tumpukan tulang-belulang putih, yang disatukan oleh sedikit energi kehidupan yang dibutuhkan untuk bergerak. Skeleton tidak bisa menggunakan magic, tidak memiliki sedikitpun kekuatan spirit, tidak dapat menggunakan divinity dan semacamnya. Itu adalah, semua kalimat yang masuk akal bagi, Skeleton biasa.

Ketika aku menyiapkan pedangku, Skeleton lawan itu menatap ke arahku, seperti mengkonfirmasi keberadaanku.

Klak klak klak!

Tulangnya saling berbenturan, mengeluarkan suara yang mengerikan. Jika aku tidak memahaminya lebih baik, aku akan berpikir skeleton itu sedang menertawaiku.

Skeleton—

Aku telah melawan mereka berkali-kali, setiap kali dalam pekerjaanku sebagai seorang petualang. Namun saat ini, mungkin berkat pandangan baruku ini, aku baru saja menyadarinya ternyata diriku adalah existensi yang berlawanan dengan mereka.

Ketika makhluk hidup telah menjadi tumpukan tulang-belulang, pasti tidak akan pernah bangkit lagi. Namun, Skeleton dihadapanku dapat bergerak dalam kondisi tersebut, selagi terus menentang kodrat ilahi mengenai hidup dan mati. Semakin aku melihatnya, semakin aku merasa bahwa existensinya adalah penghinaan terhadap alam.

Hal yang terjadi padaku saat ini mungkin membuat manusia lain memandangku dengan cara yang sama. Tidak peduli bagaimana aku melakukannya, sepertinya memang mustahil bagiku untuk kembali ke Maalt dalam keadaan seperti ini.

Sekali lagi teringat oleh kenyataan tersebut, aku berakhir menghela nafas lagi. Meskipun, aku tidak memiliki organ untuk bernafas, apa lagi paru-paru. Tidak memiliki apapun selain tulang, aku pikir ini sudah jelas.

Aku baru saja merasa terkejut pada kenyataan ini—kenyataan bahwa saat ini aku adalah sesuatu yang sepenuhnya bukan manusia terpendam dalam di pikiranku. Mau bagaimana  lagi, juga. Hal inilah yang terjadi pada saat ini.

Meskipun aku merasa telah menerima keadaan baruku sebagai Skeleton, sepertinya ada banyak hal lain mengenai perkembangan ini yang masih membuatku ragu.

Sebenarnya, aku lebih merasa bimbang dibanding sebelumnya.
Terlepas dari itu, aku tidak punya pilihan selain melangkah maju. Aku harus mengalahkan Skeleton dihadapanku ini dan berevolusi menjadi Ghoul tak peduli apapun akibatnya! Dengan berpikir seperti itu, aku berusaha sekuat tenagaku dalam tugas ini, membuat langkah awal menuju Skeleton lawan—
Setidaknya, itu adalah apa yang ingin aku lakukan. Kecepatan ketika aku melangkah ke arah Skeleton itu, lebih baik dikatakan, sangatlah lambat. Aku rasa seseorang dapat mengartikannya seperti semacam; jogging, mungkin. Namun, kecepatan ketika aku bergerak jauh dari apa yang kuharapkan—sepertinya ini bukan langkah yang cocok untuk bertarung.

Setidaknya, aku lebih cepat di bandingkan penduduk biasa di kota Maalt. Namun, aku sudah pasti lebih lambat dari petualang biasa, bahkan petualang tingkat Iron yang paling rendah.

Tampaknya kemampuan fisikku juga terpengaruhi oleh kematianku yang terlalu cepat. Mungkin, itu sudah jelas, jika seseorang memikirkannya:

Skeleton tidak lebih dari tulang berjalan. Karena semua makhluk hidup memerlukan semacam otot untuk bergerak, maka keajaiban jadinya jika Skeleton dapat bergerak—dan berdasarkan hal tersebut pergerakan mereka tidak terlalu baik.

Untuk membuktikan pendapatku, kecepatan Skeleton itu juga sangat lambat. Dipikir-pikir lagi, semua Skeleton yang telah aku temui sampai saat ini bergerak dalam gerakan yang sama. Sebenarnya, dapat dikatakan bahwa kelambatan mereka membuat mereka sempurna menjadi mangsa para petualang Bronze-class seperti diriku. Mungkin berkat mereka aku bisa terus hidup menjadi petualang sampai selama ini.

Namun meskipun Skeleton adalah mangsa yang mudah bagi petualang Bronze-class, diriku saat ini adalah Skeleton, juga.

Pertarungan ini pasti tidak akan mudah; seperti ini aku sadar ketika aku mengangkat pedangku.

Meskipun jelas bahwa teknik berpedangku menjadi lebih lambat dibandingkan ketika hidup, bukan berarti aku tiba-tiba lupa bagaimana cara mengayunkan pedang. Setidaknya, Aku sangat mengingat dasar-dasarnya.

Dengan pengetahuan itu aku dapat menyimpulkan dengan sederhana: satu-satunya serangan cepat yang aku miliki pada titik ini adalah ayunan sederhana dari atas ke bawah. Untuk memastikannya, aku memutuskan untuk mencoba teoriku. Namun, hasilnya, benar-benar mengecewakan.

Untuk satu hal, sulit mengangkat pedangku. Ini mungkin karena perubahan dalam otot-otoku, atau kurang dari biasanya. Meski begitu, aku tidak bisa mengangkat pedangku lagi meski sudah berusaha keras. Berat yang tergabung dalam pedang tersebut, bermasaan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk membalikkan ke arah yang dituju, benar-benar menyusahkan.

Jika pengamatanku benar, ini semua disebabkan oleh kurangnya otot pada tubuhku. Dengan kata lain, segala teknik dan gerakan yang telah aku pelajari sampai sekarang tidak dapat diterapkan pada situasi ini

Sekali lagi, yang terjadi padaku saat ini adalah fakta yang sudah jelas. Lagi pula, teknik yang aku gunakan dan diajarkan oleh seorang manusia. Tidak akan ada satupun teknik atau serangan yang dibuat untuk fisik Skeleton.

Meski begitu, aku berusaha mencari solusinya. Jika aku berhenti begitu saja saat ini dan disini, aku pasti akan dikalahkan oleh Skeleton itu dan mati, lagi. Kalau begitu, mungkin, ini mungkin sedikit keberutungan karena lawan pertamaku adalah Skeleton lambat dan biasa.

Ketika aku sedang sibuk mencari tahu potensi serangan pedangku, lawan ini mempercepat gerakannya, dan berlari ke arahku—sehingga seketika terjatuh. Karena kejatuhan yang tidak menguntungkan, tulang kaki lawanku tampak lepas dengan sendirinya. Skeleton tersebut saat ini sedang duduk di atas tanah dalam posisi canggung, berusaha keras untuk menggapai dan menempelkan kembali kakinya.

Mau bagaimana lagi aku tertawa pada skenario dark komedi ini. Setidaknya, aku ingin tertawa, namun Skeleton pada umumnya tidak bisa memproduksi suara seperti itu. Satu-satunya suara yang Skeleton dapat buat adalah suara gemerutuk tulang, dan hanya seperti itu. Tanpa lama lagi, aku memutuskan untuk meniru suara yang Skeleton itu buat ketika terjadi dihadapanku. Rangkaian suara berkeletak yang menyedihkan adalah hasil dari usahaku ketika tertawa.

Seperti marah terhadap gelak tawa tulangku, Skeleton itu menyeret tulangnya kembali ke bagian yang lepas, kemudian berdiri dan berlari sekali lagi ke arahku. Sepertinya Skeleton itu serius ingin menyerangku kali ini.

Aku tidak bisa melihat ini sebagai hal baik—ini pasti bukan hal baik. Meskipun Skeleton adalah monster lemah, skeleton memiliki kekuatan dan kecepatan yang cukup untuk membunuh seorang pria dewasa—termasuk petualang biasa, tentu saja. Dengan begitu, bahkan petualang Iron-class terlemah akan mendapat luka akibat pukulan semacam itu.

Selagi aku bingung berpikir, Skeleton yang dimaksud itu langsung menyerangku, dan kita berdua terjatuh ke atas tanah saat ini. Aku dengan gugup mencari cara untuk melakukan serangan balasan, aku yakin jika hanya duduk dan tidak melakukan apapun, Skeleton itu pasti akan membunuhku. Namun sepertinya, itu tidak diperlukan lagi.

Alasannya sederhana: Skeleton itu tidak mencoba menyerang lagi. Ini mungkin disebabkan oleh kombinasi suatu faktor, termasuk fakta ketika skeleton itu bergerak, dan sudut tertentu aku memegang pedangku, telah menyebaban senjataku tertusuk ke dalam tulangnya. Kejadian yang benar-benar kebetulan.

Namun, itu tidak cukup—lagi pula, lawanku adalah undead monster. Yang ada, Skeleton itu tampaknya lebih marah pada kenyataan bahwa pandangannya terhalang oleh pedang yang keluar dari salah satu bagian matanya. Kenyataan ini, berlawanan dengan fakta bahwa pedang yang dipertanyakan ini adalah logam tajam yang tertanam di tengkoraknya. Skeleton itu juga tidak mati.

Berdasarkan dari segala macam hal yang telah aku lihat selama ini, dapat diasumsikan bahwa Skeleton tidak memiliki banyak cara dalam intelek dan logika, meskipun mereka entah kenapa memiliki bentuk humanoid. Skeleton yang menyerangku adalah contoh yang baik, karena skeleton itu sedang bingung pada kejadian saat ini, dan tampaknya tidak dapat memutuskan harus melakukan apa.

Memanfaatkan peluang ini, aku segera menggenggam pedangku, menaruh seluruh kekuatanku pada senjata ini. Aku berpikir akan mendorong pedang ini menembusnya, mengingat pedang ini dengan mudah tertusuk pada tengkorak lawan.

Namun, aku, teringat oleh fakta tidak menguntungkan bahwa aku adalah Skeleton yang tidak memiliki kekuatan. Lagi pula, tulang adalah bahan digunakan untuk membuat armor, dan itu sangat keras.

Tulangnya mungkin tidak akan bergetar hanya dengan kekuatan kecil yang aku miliki ini. Meskipun aku mencoba menaruh berat tubuhku kedalam serangan, itu tidak berhasil, karena aku tidak memiliki banyak berat pada awalnya.

Aku benar-benar bingung.

Aku harus entah bagaimana menghubungkan lebih banyak kekuatan ke dalam gagang pedang ini, tidak peduli bagaimanapun caranya. Jika ini terus berlanjut, aku mungkin akan terjebak dalam pertarungan ini selamannya. Aku benar-benar tidak ingin pertarungan pertamaku terjadi selama ratusan tahun.

Menarik kembali pikiranku dari ide tanpa harapan, aku sadar bahwa sepertinya aku harus mencoba salah satu kemampuan yang aku miliki ketika hidup. Maksudku , aku bukanlah Skeleton biasa, dan aku harus memanfaatkan fakta itu sepenuhnya.

Aku sudah terlalu terperangkap dalam masalah ini karena aku saat ini adalah Skeleton, dan lupa jika aku telah mengalahkan banyak Skeleton dalam kehidupanku sebelumnya. Nyatanya, aku terbiasa mengalahkan Skeleton tidak dengan apapun melainkan kekuatan fisik. Aku bahkan memiliki mana, spirit, dan divinity untuk menyelesaikannya.

Meskipun Skeleton biasa tidak menyadarinya, pergerakan mereka ditenagai oleh magic, juga. Sebagai hasilnya, Skeleton memiliki tingkat kecepatan dan kekuatan lebih besar dibandingkan manusia biasa, oleh karena itu klasifikasinya adalah monster. Karena aku bukan lagi manusia, aku sadar sebaiknya aku menggunakan kemampuan baruku sebagai monster sebanyak yang aku bisa.

Diantara tiga kemampuan yang tersedia untukku, spirit adalah satu-satunya yang paling cocok untuk menerapkan kekuatan fisik—dan semacamnya, paling cocok untuk situasi saat ini.

Akhirnya telah menetapkan pikiranku, aku mulai berkonsentrasi, menyelimuti tubuhku dengan energi spirit. Di tengah pertimbangan tersebut aku baru menggunakan kemampuan ini ketika tubuhku tidak lebih dari sekadar tumpukan tulang, aku tidak tahu bagaimana sebenarnya ini terjadi. Namun aku harus mencobanya. Jika tidak berhasil, maka aku harus bergantung pada kekuatan fisik biasa. Jika berhasil, sebaliknya…

Aku dikenal ketika hidup terus melangkah ke depan meskipun hal itu terlihat suram. Tidak masuk akal jika menyerah begitu saja.
Ketika aku terus berkonsentrasi, sepertinya taruhanku terbayarkan—dengan seluruh kemampuanku, aku mendorong gagang pedang tersebut, perlahan mendorong senjata ini melalui mata milik Skeleton tersebut dan berakhir menghancurkan tengkoraknya. Namun kekuatan serangannya tidak tampak berhenti disini—suara retakan yang tidak mengenakan berkelanjutan tersebar melalui tubuh Skeleton tersebut, dan sekaligus, seluruh tulang dalam tubuhnya hancur menjadi ribuan kepingan kecil.

Seperti boneka yang talinya dipotong, Skeleton itu terjatuh menjadi taburan pecahan tulang, bertebaran di atas tanah di dalam labirin. Sampai beberapa saat yang lalu, tulang-tulang itu saling terhubung, dan membentuk sebuah Skeleton. Namun dengan kepalanya hancur, Skeleton itu tampak kehilangan sifat undeadnya, sekali lagi kembali menjadi tumpukan tulang mati.

Tidak tahu bagaimana. Aku menang.

Meskipun canggung dan melalui pertempuran pertama yang memalukan, yang terpenting adalah kemenanganku.

Selagi aku tidak lincah dan kuat seperti ketika aku hidup, aku telah berhasil menggunakan kemampuan yang aku miliki untuk mendapatkan kemenangan. Mungkin aku melakukannya tidak terlalu buruk juga.

Dengan berpikir seperti itu, aku menyandarkan diri, pikiranku entah bagaimana dipenuhi rasa lega yang mengkhawatirkan.