Tuesday 21 May 2019

MonRabu Volume 1 : Chapter 2 - Bagian 2


Kesempatan bertemu Kanaruzawa Sekai selanjutnya adalah hari esok.

(Tapi ya, ini jadi pengalaman yang aneh.) Katan koton. Katan koton. Yuuki berpikir selagi berdiri, tergoyang-goyang, pada Jalur Soba. (Siapa sangka aku akan menikani seorang dewi… Apa yang akan terjadi selanjutnya?)

Dia turun dari subway di stasiun dan melewati gerbang tiket, dan berjalan disebelah jajaran pohon.


Area ini merupakan area perumahan yang sepi di Tokyo dan juga dirancang sebagai wilayah khusus yang dilindungi, oleh karena itu, tidak banyak perkembangan dalam area kota ini. Disini dan disana, ada beberapa bangunan budaya barat sisa masa sebelum peperangan, dengan orang-orang yang tinggal didalammnya.

Yuuki berjalan pada jalan utama yang bersebrangan dengan stasiun dan memasuki area perumahan. Jalan ini merupakan rentetan tangga miring seperti ular tua, dan tidak jauh setelahnya, bangunan yang menjadi tujuannya mulai terlihat.

Ini berarti kedua kalinya dia mengunjungi mansion sang dewa.

“Kami telah menunggumu.” Berdiri dihadapan gerbang biru dan berkarat, Chiyo menyambut Yuuki sebelum dirinya menekan bell rumah itu. “Nyonya muda telah menunggu anda. Silakan masuk.”

“…Terima kasih. Permisi.”

Yuuki merasa canggung menghadapi pelayan ini.

Dirinya seperti wanita cantik yang ramah dan selisih umur mereka tampak tidak terlalu jauh. Namun, senyumnya seperti memiliki niat menekan yang membuat perutmu melilit ketika melihatnya.

“Berjumpa dengan nyonya muda …” Chiyo-san asks as she leads him into the mansion. “Sudahkah anda terbiasa?”

“Yah… aku rasa akan mengatasinya.”

“Kata-kata anda cukup dapat dipercaya, aku sangat terbantu. Sampai merasa percaya diri, Yuuki-sama, apa anda membuat semacam persiapan?”

“Tidak begitu. Namun, ada satu hal yang telah aku putuskan.”

“Apa itu?”

“Rahasia.”

“… Baiklah. Selama ada hasil, aku tidak akan menanyakan caranya. Semoga beruntung, aku harap hal ini berjalan dengan baik.”

Mereka tiba di depan pintu ruangan Kanaruzawa Sekai. Chiyo-san sedikit membungkuk padaku dan kembali menghilang ke arah ruang depan, meninggalkan Yuuki sendirian.

“Yah… mari lihat.”

Dia menghadap ke arah pintu.

Meski tidak seperti pertama kalinya, dia masih merasa sedikit gugup. Mereka telah menikah dan dengan begitu, pada dasarnya mereka adalah suami dan istri, namun dia masih tetap sosok dunia lain.

Bagaimana dirinya akan disambut kali ini?

Akankah dia akan menyambut Yuuki dengan gaya tegas dan ramah, sesuai eksistensi tingkat atas seperti seorang dewi?

Seperti itulah sebnarnya … namun hal itu seketika hancur. Apa akan seperti pertunjukan comedi lagi? Aku harap tidak, tapi mereka bilang bila ada kesempatan kedua maka ada ketiga kalinya.

(Yah, bodo amat.) Yuuki berhenti ragu. Tidak ada gunanya memikirkannya lagi. Jika terjadi seperti waktu itu, aku sudah siap. Hal yang sama tidak akan terulang lagi. (Oke, gass!)

Dia menarik nafas dalam-dalam dan bersiap.
Setelah mengetuk, Yuuki membuka pintu tersebut.
Kemudia, matanya terbuka lebar. Duduk disana adalah sosok dewi yang telah hidup selama ribuan tahun, telanjang dengan pita merah yang menutupi sekitar bagian tubuhnya.

“Selamat datang, Da—ar—ling.”

Yuuki meragukan hal yang dilihatnya: Kanaruzawa Sekai duduk diatas kasurnya, dalam pose mengkhawatirkan.

“Apa kamu mau makan? Atau mandi? Atau mungkin kamu... ingin... aku? Tehe.” Katanya.

“…”

Seluruh tubuhnya berubah jadi pucat, kerutan hitam tampak muncul pada dahinya, dan ujung bibirnya sedikit berdarah— ekspresi manga seperti ini benar-benar menggambarkan Yuuki pada saat ini.

“S-selamat datang, darling.” Sekai kembali menyerang, “Apa kamu mau makan? Atau mandi? Atau mungkin kamu ...mau ...aku? Tehe.”

 “……”

Yuuki perlahan menutup pintu. Dia segera melalui ke ruang depan menuju ruang resepsi dimana pelayan berada.

“Umm, Permisi. Maaf, Chiyo-san.”

“Ada apa?”

Kepada pelayan ini, yang dengan tenang mengangkat cangkir ke arah bibirnya, dia bicara, “Ummm, yah. Nyonyamu sepertinya orang bodoh. Aku harus gimana?”

“Baik itu lelucon atau tidak, anda berani juga menghina nyonya muda. Boleh aku tendang selangkanganmu sekuat tenaga sebagai hadiahnya.”

“Tidak, ini bukan lelucon. Aku serius.”

“Ada satu hal yang perlu aku katakan.” Katanya sambil menambahkan selai ke arah cangkir tehnya, “Tolong kembali ke nyonya muda. Jika anda tidak mau, aku akan menendangmu sampai kembali keruangan jika anda ingin.”

“Maaf, tapi aku menolak.”

“Aku sangat hebat dalam menggiring, padahal? Sampai bisa dibandingkan dengan Maradona.”

“Itu kekhawatiran yang tidak berguna.”

“Silakan coba dan lakukan sesuatu, jika ucapan anda barusan hanya kebohongan untuk pamer saja, aku akan memukulmu.”

 “Tidaktidak, meskipun begitu…”

“Tolong kembali pada kewajibanmu. Jika tidak, aku akan benar-benar menggiringmu.”


Dia disuruh pergi. Pada akhirnya, dia harus kembali pada skenario yang sama.

(Yah, kurasa masih lebih baik?) Dia masih mempersiapkan kepalanya yang bingung.

Dewi yang telah hidup selama ratusan tahun, yang merupakan pasangan hidupnya, baru saja mengatakan sesuatu yang tampak seperti ada hal aneh di kepalanya, sambil tidak mengenakan pakaian.

Begitulah.

Bukankah kalimat barusan biasanya dikatakan selagi telanjang mengenakan apron? Pertanyaan itu telah hancur disebabkan oleh efek situasi tadi. Mau bagaimana lagi selain menutup kembali pintu ini?

Namun, dia tidak dapat menyerah pada tugasnya. Kembali ke ruangan itu dimana tragedi telah terjadi, dia membuka pintu tersebut.

“Uuu… gusu…” Dia menangis tersedu. Kanaruzawa Sekai menggunakan tangannya untuk mengelap air matanya, membiarkan pita telanjang disekujur tubuhnya, “Tidak sopan. Sangat tidak sopan. Padahal aku akhirnya memberanikan diri melakukan sesuatu seperti ini bahkan tanpa reaksi … bagaimana bisa kamu pergi begitu saja setelah melihatnya …”

“Ah, tidak, yah. Gimana ya? Bagaimana aku harus mengatakannya…?”

“Apa tadi caranya salah?”

“Ya… tadi tidak sepenuhnya normal.”

“Apa kamu tidak tertarik pada hal seperti ini?”

“Bukannya ada hal lain yang perlu dipertanyakan sebelum ingin tahu apa yang membuatku tertarik.”

“Jika ditekankan seperti ini, pria seperti apa yang tidak mau?”

“Bagaimana bisa pengetahuanmu sangat melenceng?”

“Bagi orang pendek dan tua sepertiku, aku rasa kamu tidak tertarik terhadapku?”

“Bagi seseorang yang telah hidup ribuan tahun sampai bicara jangka hidup …”

“Uu… hikku…fueeh…”

“Ahh! Iya, iya, jadi jangan mengangis. Tolong, jangan menangis!” Tidak ada hal yang lebih buruk bagi seorang pria selain membuat wanita menangis. “Ummm. Bagaimana aku harus mengatakannya?”

Setidaknya dia harus menemukan sesuatu untuk menutupinya. Berpikir keras, pikirannya muncul dalam kepala. “Coba, itu. Pada dasarnya, aku tidak dapat bereaksi karena itu sangat luar biasa. Serius. Makanya kamu tidak perlu menangis.”

“Gusu… Luar…biasa?”

“Ya… kamu… tahu, yakan. Kamu sangat cantik dan lucu, dan bahkan sexi, sampai-sampai aku bingung. Itu sebabnya aku tidak mengatakan apapun dan hanya kembali menutup pintunya perlahan.”

“Gushu… benar?”

“Benar benar. Serius.”

“Aku cantik, lucu, dan menarik?”

“Ya. Aku jamin.”

“Bagimu, apa aku sosok yang menarik?”

“Ya… iya? Lagi pula, aku jelas melamarmu ketika pertama kali bertemu. Apa aku akan melakukan itu jika kamu tidak menarik perhatian? Tidak mungkin, kan?”

“… Fumun.” Zuzuzu, setelah dia mengusap hidungnya, Kami-sama akhirnya berhenti menangus. “Jadi begitu. Aku menarik. Fufu.”

Dia berputar dan tersenyum senang. Pada waktu itu juga. Pipinya memerah. Pipinya berwarna begitu terang, sampai seperti warna sirup strawberry tercampur kedalam susu.

“Ah.” Air mata kembali terjatuh dari matanya lagi sementara dia memeluk dada dengan kedua tangannya begitu erat, “Tolong, jangan menatapku. Aku sangat malu sampai bisa mati.”

“… Sekarang kamu baru bilang begitu?”

“Aku hanya ingin menarik perhatianmu.” Bibirnya tersenyum tipis, “Aku sadar pertemuan kita merupakan kejadian yang sangat aneh. Oleh karena itu, aku ingin segera memperpendek jarak diantara kita, jadi aku akhirnya melakukan hal yang sangat berani.”

“Aku senang kamu berpikir begitu, tapi masih terlalu cepat kalau kamu melakukan itu.”

“Apa begitu? Namun, menurut buku, baik apron telanjang maupun pita telanjang merupakan teknik yang hebat.”

“Tolong singkirkan buku seperti itu. Hanya omong kosong tertulisan dalam buku seperti itu.”

“Oh iya, buku itu direkomendasikan dari Chiyo…”

“Astaga!”

Jadi ini maksudnya serangga dalam kulit singa. Sepertinya ada hal yang perlu aku bicarakan padanya sesekali. Tergantung jawabannya, mungkin Yuuki yang akan menggiringnya, bukan Chiyo.

“Ngomong-ngomong. Mau bagaimanapun itu, bisakah kamu melakukannya perlahan? Jika tidak, aku tidak bisa mengikutinya.”

“Aku mengerti. Akan kulakukan itu.”

“Dan juga, jangan begitu saja percaya pada pelayan itu.”

“Aku mengerti. Aku tidak akan mudah percaya.”

“Umm, dan—”

“Hekkuchu!” Kami-sama bersin.

Hekkuchu! Hekkuchu!

Dua kali lagi. Bersinnya cukup menggemaskan.

“Uu… dingin…”

“… Karena penampilanmu seperti itu, tentu saja kamu kedinginan. Untuk saat ini, kenakan pakaianmu. Aku akan menunggu diluar.”